Jumat, 28 November 2008


Mitos Kebijakan Energi

Dalam penyusunan kebijakan energi, pemerintah harus memperhatikan masalah-masalah yang mengganjal yang dapat menyebabkan fokus penyelesaian krisis energi tidak integratif dan solutif. Perhatian terhadap kebutuhan energi semata akan memberikan pendekatan kuantitatif yang bersifat penyelesaian di permukaan, cenderung tidak pada substansi masalah energi di Indonesia. Artinya angka-angka yang didapatkan dilapangan mengenai kebutuhan energi hanya memposisikan masyarakat pengguna sebagai objek yang harus selalu dipenuhi kebutuhannya tanpa diajak untuk turut berpartisipasi aktif dalam penyelesaian krisis energi. Oleh karena itu sangat penting bagi pemerintah maupun masyarakat untuk mengetahui mitos-mitos yang menjadikan Indonesia “mandeg” -tidak bergerak ke depan- dalam penyelesaian krisis energi tapi selalu berkutat pada masalah penyelesaian sesaat.


Setidaknya ada enam mitos yang diyakini oleh sebagian masyarakat Indonesia, (termasuk pembuat kebijakan?) dalam melihat kondisi energi dalam negeri. Pertama, sumber energi fosil Indonesia masih melimpah. Kita semua menyadari bahwa produksi minyak dalam negeri yang 900-ribuan barel perhari tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan akan BBM yang sudah mencapai angka 1,4 juta barel perhari. Setidaknya sampai hari ini belum ditemukan titik-titik baru yang dapat menjadikan Indonesia sebagai penghasil minyak dunia, bahkan secara ironi pada permulaan tahun 2008 Indonesia keluar dari organisasi pengekspor minyak (OPEC). Sedangkan bila kita melihat bahwa energi yang didapatkan dari sumber daya alam fosil berupa batubara dan gas alam, Indonesia memang memiliki cadangan kekayaan dan produksi yang cukup melimpah. Akan tetapi harus disadari bahwa kedua sumber energi fosil ini (batubara dan gas alam) tidak dapat dengan serta merta menggantikan energi minyak yang penggunaannya sangat luas mulai dari penggunaan generik dirumah tangga, penggunaan transportasi hingga penggunaan di Industri.

Kedua, Investasi energi terbarukan masih belum jelas keuntungannya. Kondisi alam Indonesia yang memberikan keunggulan komparatif berupa mudahnya tanaman penghasil biodiesel maupun bioetanol tumbuh dengan kondisi musim penghujan yang tetap dibanding negara-negara lain adalah sebuah modal yang baik untuk pemerintah dalam membuat langkah kebijakan investasi yang mendukung pengembangan renewable energy. Apalagi data dari UNEP memperlihatkan kecenderungan kenaikan dalam investasi renewable energy sebesar rata-rata 30% per tahun. Investasi energi terbarukan memang investasi jangka menengah dan panjang, akan tetapi basis pengembangan serta investasinya harus dimulai hari ini karena kebutuhan yang mendesak dan menjadi isu utama yang universal terkait pengurangan kadar karbon yang menyebabkan pemanasan global dan energy security negara terkait. Termasuk investasi penting dalam pengembangan energi terbarukan adalah R & D yang dilakukan secara serius dengan pengalokasian anggaran yang memadai, bukan hanya kegiatan penelitian yang bersifat “particular” tetapi integratif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu yang kanalnya ada di berbagai perguruan tinggi.


Ketiga, efisiensi energi akan mendatangkan ketidak-nyamanan dalam kehidupan. Filosofi dasar dari efisiensi energi bukan memotong sesuatu yang sudah baku, tetapi lebih ditekankan pada ‘membuang sesuatu yang lebih’ dalam pemakaian. Perbedaan yang mendasar dari kegiatan audit energi yang menjadi ‘tools’ efisiensi energi dengan program penghematan adalah pada identifikasi terhadap bagian-bagian alat dalam sistem energy -skala besar (Industri) maupun skala kecil (rumah)- yang tidak efisien. Ketidak-efisienan ini bisa disebabkan diantaranya Karena umur alat yang sudah lama, perawatan yang tidak memenuhi standar atau perhitungan awal pembebanan energi yang tidak benar hingga waste (pembuangan) yang masih bisa dimanfaatkan. Sehingga efisiensi energi tidak menyentuh wilayah manusia sebagai subjek pengguna energi tetapi lebih menekankan pada perangkat energi yang menjadi objek penghasil energy itu sendiri. Dengan demikian kenyamanan manusia masih tetap diutamakan.

Keempat, energi surya masih terasa sangat mahal untuk diterapkan di Indonesia. Walaupun perangkat sel surya masih terbilang mahal (sekitar 2 dolar per watt), kondisi alam Indonesia yang kaya akan sumber energi matahari menjadikan kita seperti “tikus mati di lumbung padi”. Biaya produksi dari sel surya yang mencakup bahan dasar, biaya angkut dan marketing dari negara produser sel surya seharusnya dapat dialihkan menjadi biaya untuk membayar kekayaan intelektual dari penemu sel surya saja dan kita melakukan produksi sendiri. Indonesia harus berani meyakinkan negara produser sel surya bahwa kita adalah negara yang memiliki kebutuhan yang sangat besar akan sel surya sehingga produksi di dalam negeri akan memberikan ‘potongan’ biaya tadi. Banyak produser sel surya di dunia yang bisa diajak untuk bernegosiasi untuk memenuhi kebutuhan energi matahari ini apabila para ilmuwan kita belum mampu untuk memproduksi sel surya hasil rekayasa sendiri. Tapi apa salahnya apabila alokasi anggaran untuk R&D energi surya juga ditingkatkan untuk kepentingan jangka panjang sekaligus pembelajaran bagi para ilmuwan yang sudah banyak dikirim oleh Indonesia ke luar negeri untuk menuntut ilmu pada bidang ilmu alam dan engineering.

Kelima, Teknologi dapat menyelesaikan semua masalah krisis energi. Secara umum pemanfaatan teknologi memang memberikan keuntungan yang tidak sedikit bagi penanggulangan krisis energi. Berbagai pemanfaatan teknologi mulai dari PLTA hingga PLTN, teknologi solar hingga pemanfaatan teknologi nano digunakan oleh berbagai kalangan di dunia ini untuk memenuhi kebutuhan akan energi. Akan tetapi yang harus diingat juga adalah perspektif masyarakat tentang energi itu sendiri, maksudnya masyarakat sebagai pengguna energi harus berperan aktif dalam tindakan individu maupun kolektif untuk bersama-sama menghargai energi yang mereka pakai sebagai bagian investasi mereka dalam kehidupan ini.Biaya energi bagi pribadi sering kali diabaikan karena masyarakat memandang bahwa biaya itu adalah biaya yang memang harus dikeluarkan ketika kita melakukan sebuah kegiatan. Masyarakat umumnya tidak mengetahui berapa sesungguhnya prosentase pengeluaran untuk energi (mulai dari kegiatan penerangan di rumah hingga BBM untuk kendaraannya) berbanding dengan pendapatan mereka dalam kategori atau disebut efisien secara energi. Jika saja sinyalir yang dikemukakan oleh seorang pakar energi dari Inggris -bahwa pengeluaran energi yang lebih dari 10 % pendapatan dikategorikan inefisien / menuju kemiskinan energi - itu benar, maka kita harus mulai menghitung-hitung apakah kita termasuk boros dalam energi atau tidak. Kesadaran kolektif dari masyarakat akan hal ini akan memberikan peluang kepada kita untuk berkontribusi dalam menghadapi krisis energi secara langsung.

Keenam, Pemanasan global tidak ada hubungan dengan Indonesia secara langsung dan menjadi urusan negara-negara maju. Bila kita melihat pencemaran udara hasil emisi carbon an sich saja, mungkin Indonesia belum termasuk kedalam negara dengan kategori pencemar terbesar di dunia penyebab efek rumah kaca. Akan tetapi posisi Indonesia yang memiliki hutan yang cukup luas menjadi salah satu modal bagi perlambatan efek rumah kaca yang berujung pada pemanasan global di dunia akhir-akhir ini. Masalahnya adalah apakah dengan posisi ini, kita akan selalu menempatkan diri sebagai objek negara-negara lain untuk tetap menjadi salah satu paru-paru dunia? atau ada jalan lain yang dapat ditempuh oleh Indonesia sehingga isu pemanasan global dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan energi di negara kita? semua terpulang pada kita .Walaupun dalam hal ini kita dapat mengembangkan perdagangan karbon (carbon finance) untuk mendapatkan dana atas hasil pelestarian hutan kita sebagai paru-paru dunia, akan tetapi untuk jangka panjang kebijakan carbon finance diarahkan juga pada sektor industri di Indonesia dengan mengembangkan energi yang ramah lingkungan dan sedikit mengeluarkan karbon. Selain dapat mengurangi polusi domestik, Industri dalam negeri juga akan mendapatkan insentive yang lebih jelas dari negara donor / badan dunia yang hasilnya mungkin akan mengurangi alokasi APBN untuk pencegahan polusi. Hal ini juga penting dikembangkan sebagai langkah antisipatif bagi ketentuan yang semakin rigid yang kemungkinan akan diberlakukan dalam aturan main perdagangan bebas dunia (WTO), dimana perusahaan-perusahaan yang melakukan perdagangan internasional akan diminta komitmennya oleh suatu badan akreditasi masalah emisi karbon. Isu pemanasan global dan kaitannya dengan perdagangan karbon nampaknya akan menjadi isu sentral dalam beberapa dekade kedepan yang mau tidak mau harus diantisipasi oleh dunia Industri di Indonesia.


Dari mitos-mitos diatas, kiranya kita dapat lebih fokus dalam mengarahkan kebijakan energi nasional jangka pendek, menengah dan panjang. Akan tetapi yang lebih penting dari itu adalah komitmen kita untuk menjalankan kebijakan sudah dan akan disusun. Dan kita akan mengucapkan "Selamat tinggal mitos....".

2 komentar:

saidah mengatakan...

menarik sekali, menurut bapak tindakan yang paling mungkin dapat dilakukan orang awam seperti saya ?

. mengatakan...

Mas Rulli.
Artikel ini sangat menarik dan penting. Minta izin saya muat di blog saya ya.

Kunaifi
http://kunaifi.wordpress.com