Selasa, 11 November 2008

Selamat Datang DEN

Selamat Datang…DEN

Setelah melalui perjalanan panjang dengan didahului oleh pengesahan UU Energi,akhirnya Dewan Energi Nasional terbentuk untuk membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan Energi di Indonesia. Secara garis besar tren kebijakan energi dunia meliputi setidaknya tiga masalah yaitu pemanasan global, kebutuhan energi yang semakin meningkat dan keamanan energi (energi security). Investasi pada ketiga bidang tersebut terus meningkat dari tahun ketahun dari 500 triliun pada tahun 2005 hingga diprediksikan mencapai 800 triliun pada 5 tahun selanjutnya. Investasi ini merujuk pada data dari UNEP (United Nation of Enviromental Programme) tahun 2007 yang meliputi investasi langsung yang berkaitan dengan pengembangan renewable energi maupun investasi tidak langsung yang hubungannya dengan lingkungan. Posisi Indonesia yang serba sulit dengan permasalahan yang begitu kompleks mulai kebutuhan BBM yang lebih besar dari produksi hingga efisiensi pemanfaatan energi yang tidak terkontrol (karena tidak menjadi kebijakan pemerintah secara terfokus) membuat Indonesia tidak dapat mengikuti tren kebijakan energi dunia. Padahal bila saja kebijakan tersebut bisa paralel dengan ketiga masalah dunia tersebut setidaknya Indonesia dapat bekerjasama lebih aktif dan bersinergi dengan negara-negara lain dalam menyelesaikan permasalahan energi.
Lemahnya kebijakan energi Indonesia juga terlihat dari tataran mikro yang tengah terjadi di negeri ini dengan kebutuhan listrik yang terus meningkat sementara pasokan terhadap pemakai semakin berkurang. Masyarakat , termasuk dunia Industri, dihadapkan pada pola pemakaian listrik yang serba terbatas dengan pemberian insentive yang tidak jelas. Kekayaan komparatif negeri ini yang terletak di katulistiwa (selama setahun tidak pernah kekurangan energi matahari ) tidak mampu untuk diekplorasi untuk membantu krisis energi listrik di dalam negeri. Indonesia menjadi negara yang pasif dalam pengembangan energi surya dan cenderung menunggu (atau pasrah menjadi pasar negara lain?) serta tak berdaya terhadap kemampuan diri sendiri. Belum lagi pemanfaatan biofuel yang sebenarnya negeri ini sangat kompetitif bagi pengembangan tanaman penghasil biodiesel maupun bio etanol. Kalkulasi sederhana yang menyatakan harga jual biofuel pada saat ini lebih tinggi dibanding dengan bahan bakar fosil seolah membuat ciut pengambil kebijakan untuk mengembangkan renewable energy (energi terbarukan). Praktis didunia ini negara berkembang yang sangat serius untuk mengembangkan biofuel hanya China dan Brazil, sementara Indonesia masih mengandalkan energi fosil. Energi biomasa dan angin juga bernasib sama seperti kedua renewable energi diatas. Tidak bergairahnya investor untuk menanamkan modalnya dalam program renewable energi lebih disebabkan karena Indonesia tidak memiliki fokus pada pengembangan masalah ini.
Energy Poverty.
Kondisi Indonesia kedepan yang tidak memiliki visi dalam kebijakan energi yang jelas dikhawatirkan akan membawa petaka bagi generasi yang akan datang berupa kemiskinan energi (Energy Poverty). Menurut Dr.Brenda Boardman dari Inggris yang pertama kali memperkenalkan istilah ini, kemiskinan energi akan dialami oleh seseorang / negara apabila belanja energinya melebihi 10% pendapatannya. Kondisi ini belum menyangkut parameter lain mengenai kekurangan sumber energi yang menyebabkan harga bahan bakar tinggi, akses terhadap sumber energi yang tidak merata dan efisensi energy yang buruk. Kebutuhan BBM fosil yang ada sekarang jauh lebih besar dari produksi minyak mentah kita semakin memperkuat gambaran bahwa Indonesia akan masuk negara dengan kemiskinan energi. Batu bara yang cukup melimpah di Indonesia juga tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan kebutuhan energi jangka panjang karena berhadapan langsung dengan potensi pemanasan global dengan menyumbangkan karbon yang tinggi. Akses yang belum merata terhadap energi domestik (dengan program pergantian minyak tanah dengan gas) dan energi listrik di masyarakat juga semakin membuat gambaran negeri ini kedepan semakin buram. Kebijakan pengadaan PLTN dalam menghadapi krisis listrik didalam negeri pun terkendala oleh masalah-masalah non teknis dan politis sehingga Indonesia terus berkubang dalam “lumpur” kebingungan sementara waktu terus berjalan dan memperbesar data kebutuhan energi yang semakin meningkat.
Kebijakan energi yang terkait dengan efisiensi penggunaan energi masih tambal sulam dengan belum di”breakdown” nya UU Energi mengenai penghematan energi. Masyarakat Indonesia cenderung untuk menggunakan energi dengan pola konvensional, artinya energi masih dipandang sebagai cost yang harus dibayar untuk memberikan kemudahan dalam beraktivitas tanpa mempertimbangkan prosentasi dari parameter kemiskinan energi sebesar 10 %. Pemerintah juga seakan tidak berdaya menghadapi pola pikir konsumtif dari masyarakat di bidang transportasi dengan semakin melonjaknya kepemilikan kendaraan pribadi tanpa dibarengi dengan pembenahan manajemen transportasi yang menyebabkan kemacetan dimana-mana dan menghasilkan pemakaian BBM yang tak terkendali. Pengadaan transportasi masal tanpa dibarengi kebutuhan akan keamanan dan ketepatan waktu dalam mengakses suatu tempat malah tidak dipikirkan yang menyebabkan masyarakat memberikan respon yang tidak menggembirakan dalam mengalihkan pola pemakaian kendaraan pribadi ke angkutan masal. Indonesia benar-benar terperangkap dalam benang kusut kebijakan energi yang tambal sulam dengan akan diberlakukannya kenaikan pajak kepemilikan kendaraan dan pajak-pajak lain yang sebenarnya tidak memberikan efek langsung terhadap manajemen transportasi apalagi manajemen energi.
Perlu kebijakan mendasar dalam merubah kondisi yang akan dihadapi Indonesia untuk menghindari kemiskinan energi. Walaupun keadaan sekarang, Indonesia masih mampu mengatasi masalah energi, fokus yang tidak jelas dari pemerintah akan memerosokkan negeri ini pada kondisi yang tidak menguntungkan pada saat yang akan datang. Ketidak-fokusan kebijakan energi pemerintah juga terlihat dari terburu-burunya klaim “Blue Energy” untuk (hamper) diadopsi menjadi program alternative dalam penghematan energi dan sempat menghebohkan tanah air. Belum lagi bila kebijakan energi kita dihubungkan dengan climate change (pemanasan global) yang berpotensi menenggelamkan pulau-pulai kecil kita dan mendatangkan bencana didaerah pesisir serta “energy security” yang berpotensi memberikan dampak langsung pada mandulnya ketahanan militer, karena militer merupakan salah satu pengguna energi BBM yang besar.
Tantangan pasar
Disisi lain, prinsip supply dan demand yang diserahkan mekanisme pasar dalam menentukan harga minyak yang menjadi dasar kapitalisme tidak cukup kuat untuk membawa Indonesia pada fokus Investasi renewable energy. Kesempatan untuk mendapatkan keuntungan di masa datang dengan prinsip ini menyebabkan Indonesia ‘maju-mundur’ untuk ikut serta dalam investasi jangka panjang.
Padahal negara-negara dengan konsumsi bahan bakar fosil yang tinggi seperti Amerika dan Uni Eropa mulai menyadari bahwa mereka selama ini tidak dapat terus tergantung pada mekanisme pasar dalam kebutuhan energinya. Besarnya kebutuhan atas sumber daya energi dan suplai yang tidak memadai menyebabkan harga minyak merangkak naik, belum lagi permainan para pialang.. Krisis energi telah memporak-porandakan logika pasar energi Amerika dan mulai terasa sejak terjadinya intervensi ke Irak yang sempat melambungkan harga minyak dunia. Intervensi pemerintah Amerika yang selama ini dihindari oleh pemerintah Amerika -yang pro pasar (kapitalisme)- bahkan mulai merambah dunia politik pemilu AS, dimana kedua kandidat presiden yang bersaing sama-sama menawarkan skema penyelamatan energi negara tersebut. Krisis energi yang menimpa Amerika bahkan telah menjadikan salah satu calon presidennya dari partai Republik yang dikenal selama ini sebagai penganut kebijakan “leisse fiere” yang digagas Presiden Ronald Reagen sempat mengatakan “Capitalism cannot solve US energy crisis….” dalam kampanyenya dengan rencana program penyuntikan dana 300 juta dolar AS dalam pengembangan teknologi bateri untuk kendaraan hybrid. Tentu Indonesia berlainan dengan Amerika, pemerintah melalui UU Energi diberikan ruang yang cukup untuk menentukan masa depan kebijakan energi di dalam negeri tanpa harus memperdebatkan masalah dasar ekonomi Negara (sosialis atau kapitalis), walaupun bukan berarti tren investasi dalam renewable energy harus dilewatkan begitu saja.
Belum ada kata terlambat untuk memulai perombakan mendasar dari kebijakan energi kita apalagi dengan terbentuknya Dewan Energi Nasional diharapkan akan lebih memberikan fokus yang lebih menukik dan tajam untuk menghadapi krisis energi di negara kita diantara tarikan ketiga masalah dan tantangan pasar yang terus membentuk dirinya sendiri sebagaimana terungkap diatas. Kita tunggu kiprah dari Dewan Energi Nasional, Selamat datang ….DEN.

Tidak ada komentar: